Pada 17 November 2023, CEO OpenAI, Sam Altman, mendadak dipecat akibat ketidaksetujuan ideologis dengan dewan perusahaan. Namun, dalam kejutan lain, pada 22 November 2023, Altman secara resmi kembali menjabat sebagai CEO setelah terjadi perombakan struktur kepemimpinan. Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas dalam mengelola inovasi yang bertanggung jawab. Dalam reportasenya, Hao dan Warzel (2023) menginvestigasi puncak kompleksitas inovasi di OpenAI terjadi setelah peluncuran ChatGPT yang memperdalam ketegangan internal dan menyoroti tantangan perusahaan dalam menjaga keseimbangan antara visi komersial dan komitmen pada keamanan serta etika. Dengan bergabungnya Microsoft sebagai "non-voting observer" dalam dewan, kolaborasi antara OpenAI dan perusahaan teknologi tersebut semakin menguatkan fokus pada inovasi yang bertanggung jawab. Tidak seperti perusahaan teknologi lainnya, OpenAI tidak dirancang untuk mengikuti nilainilai yang mendominasi industri teknologi pada umumnya. Sejak berdiri pada tahun 2015 sebagai organisasi nirlaba, OpenAI bertekad menciptakan kecerdasan buatan umum/ artificial general intelligence (AGI) yang bermanfaat bagi “manusia secara keseluruhan." Dalam cita-cita ini OpenAI beroperasi layaknya fasilitas penelitian dengan orientasi nirlaba yang terlihat jelas dalam slogan perusahaan “Creating safe AGI that benefits all humanity”
Arsip:
Student Working Papers
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan perubahan yang mendasar akibat transformasi digital. Kemunculan berbagai teknologi digital kontemporer seperti kecerdasan digital artifisial (artificial intelligence/AI), 3D printing, otomasi, robotik, dan ‘Internet of Things’ telah mendorong perubahan yang signifikan dalam berbagai tatanan sosial, ekonomi dan politik yang ada. Transformasi digital juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi komputer, konektivitas internet, serta desain maupun produksi konten digital. Kemunculan beberapa istilah baru seperti new economy, knowledge economy, digital natives, dan digital innovation kian memperkuat kehadiran transformasi digital dalam kehidupan abad ke-21 (Holroyd and Coates, 2015). Semakin meluasnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan, yang beriringan dengan intensifikasi globalisasi yang mengubah pola relasi antaraktor di tingkat global, juga menjadi salah satu karakteristik utama dari transformasi ini
Terdapat banyak cara dalam mempelajari studi Hubungan Internasional (HI). Setiap pendekatan dominan menawarkan fokus dan model analisis yang berbeda-beda. Bagi pendekatan realisme struktural, misalnya, cara mempelajari Hubungan Internasional (HI) adalah dengan memahami bagaimana great power bersaing dan menciptakan struktur global yang memaksa negara-negara lain untuk mengubah strategi, aliansi, dan perilakunya. Bagi kaum liberal, cara memahami HI adalah dengan menunjukkan bagaimana bekerja atau tidak bekerjanya rezim-rezim internasional atau global governance. Kelas Gerakan Sosial Global di DIHI UGM menggunakan cara pandang khas: bagaimana memahami HI melalui politik perlawanan? Pada umumnya, politik perlawanan atau gerakan dibaca semata-mata sebagai konsekuensi atas suatu transformasi sosial. Ia bahkan kerap dipandang sebagai gangguan atau disrupsi bagi tata dunia yang hegemonik. Dalam kelas ini, politik perlawanan dibaca sebagai pintu masuk sentral untuk memahami bagaimana tata dunia terbentuk dan berubah. Dengan Cara pandang ini, hubungan antara politik perlawanan dan tatanan politik nasional atau global bersifat konstitutif dan produktif