Korupsi Politik: Belajar dari Pengalaman Tujuh Negara

Editor: Dr. Nur Rachmat Yuliantoro

        Apa itu korupsi? Pertanyaan ini tampak sederhana dan terkesan mudah dijawab, apalagi oleh kebanyakan orang Indonesia yang dapat dipastikan telah mengalami satu atau lebih bentuk korupsi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Korupsi terjadi ketika ada yang meminta dan menerima suap baik untuk perkara kecil maupun besar. Ia juga umumnya ditemukan pada saat kepentingan pencari rente (keuntungan ilegal) bertemu dengan kehendak penguasa untuk mendapatkan dukungan dan kesetiaan. Korupsi berlangsung di tingkat masyarakat (petty corruption) sampai dengan elite politik pembuat kebijakan di level tertinggi (grand corruption), dengan dampak yang luas terhadap sistem politik sampai dengan sistem hukum. Korupsi secara umum merupakan suatu bentuk kejahatan dan perilaku buruk sehingga ia harus dilawan dan diperangi.

Detail Terbitan

  • ISSN: 2614-2449
  • Volume: 4
  • Nomor: 1
  • Tahun Terbit: Juli 2020

Abstrak

THE ‘STATE CAPTURE’ OF SOUTH AFRICA: ANALYZING THE POLITICAL CULTURE IN THE POST-APARTHEID ERA

Kirana Endiani

    Di zaman pasca-apartheid Afrika Selatan, korupsi politik telah menjadi begitu umum sehingga telah diterima sebagai suatu fakta kehidupan. Mantan Presiden Zuma, yang dijuluki sebagai ‘Raja Korupsi’, bahkan dituduh menjual Afrika Selatan ke keluarga Gupta yang terkemuka, karenanya hal ini dinamakan sebagai ‘state capture’.

     Ini telah menimbulkan perdebatan tentang situasi politik seperti apa yang memungkinkan praktik semacam itu terjadi pada awalnya. Makalah ini kemudian ingin mengklaim bahwa warisan sistem sebelumnya, seperti: normalisasi korupsi politik, hubungan patron-klien yang lazim, dan keunggulan Kongres Nasional Afrika (ANC), adalah yang membentuk Afrika Selatan seperti yang kita ketahui saat ini.

Kata kunci: Afrika Selatan, penangkapan negara, budaya politik

MENGAKARNYA KORUPSI DI GUINEA KHATULISTIWA

Louis Wili Wijaya

        Guinea Khatulistiwa merupakan negara kaya yang memiliki sumber daya berupa minyak di lautan lepas. Kekayaan negara ini, ironisnya, kemudian tercermin dari kehidupan keluargapresiden yang glamor serta beberapa proyek pembangunan seperti ibukota baru, vila untuk mengakomodasi para pemimpin negara dalam pertemuan tahunan Uni Afrika, serta stadion untuk menyelenggarakan beberapa ajang olahraga, salah satunya Piala Afrika 2015. Hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan sebagian besar masyarakatnya yang menemui kesulitan dalam mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Situasi ini memicu kesenjangan dan indikasi korupsi politik dalam pemerintahan Guinea Khatulistiwa. Tulisan ini berargumen bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab kesenjangan dan korupsi politik di negara tersebut: buruknya kualitas demokrasi, dikuasainya posisi strategis oleh kerabat presiden, serta birokrasi yang memberikan celah bagi terjadinya korupsi.

Kata kunci: Guinea Khatulistiwa, korupsi politik, kesenjangan

PRESIDEN PERU DALAM PUSARAN KORUPSI POLITIK: DARI FUJIMORI HINGGA KUCZYNSKI

Salma Husna Irtama Priyadi

      Dalam tiga dekade terakhir, korupsi politik telah menjadi permasalahan yang semakin krusial dan meluas di Peru. Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan fakta bahwa kelima presiden Peru terakhir secara berturut-turut terjebak dalam pusaran korupsi politik. Kelima presidentersebut adalah Alberto Fujimori, Alejandro Toledo, Alan Garcia (memutuskan untuk bunuh diri sesaat sebelum polisi melakukan penangkapan), Ollanta Humala, serta Pedro Pablo Kuczynski. Tulisan ini berargumen bahwa terjebaknya kelima presiden Peru dalam pusaran korupsi politik tidak terlepas dari warisan otoritarianisme dan pemerintahan sarat korupsi dari kepemimpinan Alberto Fujimori. Secara lebih spesifik, warisan pemerintahan Fujimori yang dapat menyebabkan maraknya praktik korupsi oleh presiden Peru meliputi berlakunya sistem kongres unikameral, sistem peradilan yang lemah, serta kurangnya pengawasan terkait pendanaan ilegal dalam pemilihan umum.

Kata kunci: Peru, presiden, korupsi politik, warisan otoritarianisme

KORUPSI OLEH PRESIDEN DI KOREA SELATAN: KEKUASAAN YANG TERLALU BESAR?

Nathania Vivian Hermawan

      Pada tahun 2016, Korea Selatan dikejutkan oleh kasus korupsi politik besar-besaran yang dilakukan oleh Presiden Park Geun-hye serta melibatkan petinggi perusahaan multinasional dan organisasi pemerintah seperti Badan Intelijen Nasional. Meskipun negara demokrasi dianggap lebih mudah terhindar dari korupsi, enam dari tujuh presiden Korea Selatan sejak negara tersebut merdeka terlibat dalam penyuapan, manipulasi harga saham, dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi politik oleh presiden secara berturut-turut ini terjadi karena kelemahan sistem politik, utamanya berkaitan dengan “imperial presidency” yang disebabkan oleh aturan masa jabatan satu periode bagi presiden dan keleluasaan menunjuk loyalis sebagai perdana menteri dan petinggi badan pemerintah. Korupsi politik presiden juga tidak lepas dari pengaruh kuat budaya politik seperti budaya balas budi, loyalitas, dan korporatisme demokratis.

Kata kunci: korupsi politik, Korea Selatan pemusatan kekuasaan, sistem politik, budaya politik

EXAMINING DONALD TRUMP’S CAMPAIGN FUNDS BRIBERY THROUGH THE FRAMEWORK OF POLITICAL CORRUPTION

Muhammad Fakhri Abdurrahman

        Regulasi tentang pendanaan kampanye untuk mencegah korupsi di pemilu Amerika Serikat telah melahirkan efek samping yang negatif. Kandidat-kandidat memanfaatkan celah dan kelonggaran peraturan. Komisi Pemilihan Umum Federal (FEC) yang memonitor ketat telah menambah pengawasan terhadap tindakan ilegal korupsi. Tetapi, pelanggaran peraturan federal adalah tema konsisten dari pencalonan dan kepresidenan Donald Trump. Tulisan ini membahas dua kasus pelanggaran Trump dalam pendaan kampanye: uang tutup mulut yang dieksekusi oleh Michael Cohen dan pencucian uang dana kampanye oleh perusahaan swasta. Dengan mempertimbangkan prospek terpilihnya kembali Trump, tulisan ini menawarkan analisis implikasi politik sebagai konsekuensi dari tindakan korupsi politik.

Kata kunci: Korupsi politik, pendanaan kampanye, Amerika Serikat, penyuapan, pemilihan umum

CHINA’S POLITICAL CORRUPTION IN HONG KONG

William Help

      Meskipun definisi korupsi politik umumnya berfokus pada tindakan individu dalam menyalahgunakan kekuasaan untuk mengejar keuntungan pribadi mereka sendiri, personifikasi negara sebagai entitas politik memungkinkan definisi ini melampaui tingkat analisis individu. Artikel ini akan menguraikan bagaimana tindakan Cina mempertahankan integritas nasionalnya di Hong Kong dapat melibatkan tindakan korupsi politik. Sekalipun tindakan Cina di Hong Kong mungkin dapat dibenarkan melalui wewenangnya sebagai akibat dariraison d’étatdan kedaulatannya, artikel ini yang berdasarkan pada penemuan empiris menunjukkan keterlibatan Cina dalam sistem politik Hong Kong melibatkan tindakan korupsi politik.

Kata kunci: Cina, Hong Kong, korupsi

KEBIJAKAN ANTI-KORUPSI BOTSWANA:SEBUAH STRATEGI PEMBELAJARAN BAGINEGARA BERKEMBANG

Andeta Karamina

        Di  negara-negara  berkembang,  praktik  korupsi  seringkali  telah  dinormalisasi  sebagai bagian  dari  budaya  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Kondisi  tersebut  menyebabkan  maraknya korupsi   di   level   pemerintahan   dan   masyarakat,   yang   secara   langsung   menghambat pembangunan  ekonomi  negara.  Secara  khusus,  praktik  korupsi  di  negara  berkembang  kerap disimplifikasi  sebagai  permasalahan  akut  dengan  menegasikan  budaya  sebagai  penyebab, tanpa memerhatikan perbedaan konteks dan tantangan yang dihadapi olehnya. 

      Penerapan  strategianti-korupsi  bagi  negara  berkembang  perlu  ditarik  dari  pengalaman kesuksesan negara berkembang pula. Salah satu di antaranya  adalah  Botswana,  yang meraih predikat  negara  paling  bebas  korupsi  dan  demokratis  di  kawasan  Afrika.  Tulisan  ini  akan menelaah upaya pemberantasan korupsi yang dijalankan di Botswana dalam kaitannya dengan kehendak  politik,  institusi  independen,  dan  sistem  demokrasi,  sebagai  rujukan  strategi pemberantasan korupsi bagi negara berkembang lainnya. 

Kata kunci: korupsi, negara berkembang, Botswana, kehendak politik, demokrasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Baca edisi lain