Editor: Dr. Maharani Hapsari
Seri Student Working Paper kali ini mengulas konsep keamanan manusia di berbagai konteks empirik. Ketidakamanan manusia tampil dalam beragam wajah di era hubungan internasional kontemporer. Agenda keamanan bergerak dari memastikan batas-batas kekuasaan negara-bangsa tidak diintervensi oleh kekuatan-kekuatan eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan manusia sebagai unit politik dalam sistem internasional. Keamanan manusia memahami akar-akar kerentanan dalam masyarakat dari cara pandang alternatif, juga merumuskan agenda politik emansipatif dengan cara yang non-konvensional di luar jangkauan proyek normatif keamanan negara. Hal ini dilakukan dengan menggeser lokus keamanan dari yang berpusat pada negara menjadi yang berpusat kepada manusia sebagai sebuah unit politik yang berdaya.
Detail Terbitan
Ayu Widyaningsih
Banyaknya jumlah e-waste menjadi permasalahan tersendiri di negara India. Pertambahan tersebut didapatkan dari banyaknya konsumsi dalam negeri serta praktek perdagangan e-waste yang illegal antar negara. Dampak dari permasalan e-wasteini mengganggu keamanan kesehatan khusunya para pekerja yang bersinggungan langsung dengan e-waste.Pemerintah India berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang memberikan pedoman e-waste managementyang benar kepada masyarakat. Akan tetapi kebijakan pemerintah India mempunya berbagai macam kelemahan sehingga penegakan dalam peraturan ini belum bisa dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat. Melihat kondisi tersebut, tulisan ini akan mengkaji permasalahan e-waste di India dengan menggunakan perspektifteori kritis yang dirasa mampu menggambarkan akar dari permasalahan ini. Perspektif ini juga akan menjelaskan adanya communicative actiondan emancipatory projectdalam memberikan masukan untuk penyelesaian permasalahan e-waste di India.
Kata kunci: E-waste, India, keamanan kesehatan, The Basel Convention
Pada tahun 1990, Korea utara mengalami bencana alam yang sangat besar kemudian menyebabkan kasus kelaparan didorong oleh krisis pangan. Krisis terhadap ketahanan pangan semakin berlanjut karena lambatnya pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menjamin pasokan makanan yang memadai bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan. Selanjutnya, kondisi masyarakat semakin memburuk karena sistem kelas sosial yang tidak terlepas dari identitas negara Korea Utara sebagai negara Sosialis-Komunis dibawah pemerintahan yang diktator. Korea Utara sangat mepertahankan identitas negaranya dengan menerapkan ajaran-ajaran Marxis, salah satunya dalam memahami konsep Hak Asasi Manusia. Konsep HAM yang diakui di negara ini ialah menekankan kewajiban terhadap masyarakat dan HAM diperlakukan sama halnya dengan urusan negara. Sehingga, pemenuhan bantuan jatah makanan berdasarkan sistem kelas sosial. Kehadiran World Food Programmesangat penting dalam memberikan akses dan mendistribusikan pangan secara menyeluruhterhadap semua lapisan masyarakat terutama kepada orang-orang yang berasal dari kalangan sosial kelas bawah, berada di daerah yang sulit terjangkau, tanpa memandang status kelas sosial.
Kata kunci: Hak Asasi Manusia, Kelaparan, Krisis pangan, Korea Utara, Public Distribution System (PDS), World Food Programme (WFP)
Muhammad Rilo Mildi Pambudi
Di Asia Tenggara, proses industrialisasi telah menyebabkan munculnya fenomena urbanisasi besar-besaran yang memicu peningkatan tingkat populasi dan degradasi lingkungan. Kualitas lingkungan yang buruk karena meningkatnya intensitas kegiatan pembangunan di negara-negara ASEAN tidak hanya mengancam keamanan lingkungan tetapi juga kelangsungan hidup manusia di masa depan. Salah satu krisis terbesar yang melanda wilayah ini saat ini adalah polusi kabut lintas batas sebagai akibat dari pembakaran hutan dan lahan secara sembarangan. Fenomena ini telah mendorong pembentukan Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas (AATHP). Namun, sejak pertama kali berlaku pada tahun 2003, perjanjian ini belum berhasil mewujudkan hasil yang dibayangkan. Pada tahun 2001, 2013, dan 2015 kebakaran hutan besar-besaran terjadi lagi di Indonesia yang berdampak kepada hampir semua negara ASEAN, terutama Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand Selatan. Fenomena ini menunjukkan bahwa AATHP sebagai perjanjian kerja sama lingkungan tidak cukup efektif untuk menghentikan krisis pencemaran asap lintas batas yang berkepanjangan di wilayah tersebut. Dengan memanfaatkan konsep siklus hidup norma oleh Finnemore dan Sikkink (1998), makalah ini akan menganalisis tantangan AATHP dalam mengatasi bencana kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas lintas negara di negara-negara ASEAN. Melalui tiga tahap dalam siklus kehidupan norma, makalah ini menemukan bahwa motif negara dalam mengadopsi norma mempengaruhi sikap negara dalam menafsirkan dan mematuhi norma-norma ini. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan beberapa negara ASEAN untuk menerjemahkan AATHP ke dalam peraturan nasional dan kurangnya keseragaman pendekatan yang diambil oleh negara-negara ASEAN adalah alasan utama di balik ketidakefektifan AATHP dalam mengatasi kebakaran hutan dan pencemaran kabut lintas batas di wilayah tersebut.
Kata kunci: AATHP, Kebakaran hutan Indonesia, polusi kabut lintas batas, siklus hidup
Nuril Khoiriyah
Kolonialisme ala modern dilakukan oleh Pemerintah Cina melalui usaha Chinesizationdibawah pengaruh Partai Komunis China terhadap wilayah Xinjiang. Chinesization tersebut dilakukan sebagai bentuk penghapusan identitas muslim masyarakat etnis Uyghur di Xinjiang. Penghapusan identitas dilakukan dengan mengadopsi paham dari teori konstruktivisme Hubungan Internasional yang menyatakan bahwa identitas muncul bukan apa adanya melainkan melalui proses intersubjektivitas dan konstruksi sosial yang terjadi dalam ranah domestik. Upaya Chinesization inilah yang penulis pandangsebagai salah satu bentuk ancaman yang dilakukan oleh negara terhadap keamanan komunitas atau social masyarakat etnis Uyghur.
Kata kunci: AATHP, Indonesian forest fires, transboundary haze pollution, norm life cycle
Nyssa Nastasia
Keamanan pangan merupakan salah satu dimensi dari keamanan manusia yang menjadi perhatian para ilmuwan lantaran mencakup spektrum yang luas, dari individu hinggatingkat global. Ethiopia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap ketidakamanan pangan dan malnutrisi. Situasi keamanan pangan di Ethiopia sangat terkait dengan kekurangan pangan dan malnutrisi yang disebabkan oleh beberapa hal termasuk kekeringan. Tulisan ini akan membahas mengenai problematika apa saja yang terdapat dalam keamanan pangan di Ethiopia serta upaya pemerintah Ethiopia dalam menanggulanginya. Upaya pemerintah Ethiopia dalam menanggulangi ketidakamanan pangan di Ethiopia akan ditelaah menggunakan perspektif liberalisme institusional.
Kata kunci: keamanan pangan, Ethiopia, liberalisme institusional
Tunggul Wicaksono
Gagasan mengenai keamanan manusia menjelaskan tentang hubungan antara kebijakan pemerintah dengan ancaman yang dialami secara personal. Seringkali, kedua hal tersebut menjadi resep dalam proses pembuatan kebijakan dan penting untuk menunjang implementasi politik luar negeri. Namun demikian, gagasan keamanan manusia belum diadopsi sepenuhnya oleh negara-negara, salah satunya adalah tentang bagaimana kebutuhan masyarakat dipenuhi. Hal ini bisa dipengaruhi oleh adanya konsepsi keliru tentang implementasi kebijakan menyangkut keamanan manusia yang belum memasukkan prinsip pembangunan berkelanjutan, belum lagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang belum diperhatikan secara serius. Maka dari itu, temuan awal artikel ini menunjukkan bahwa meskipun upaya untuk membawa konsep keamanan manusia menjadi lebih membumi telah dilakukan secara holistik, para pembuat kebijakan sering mengabaikan fokus kritis: pemberdayaan.
Kata kunci: keamanan personal, kerentanan, pemberdayaan
Winona Umacina
Perang suku menjadi bentuk penguatan identitas suatu suku baik secara kekuatan maupun secara sistem. Konstruksi dibangun tidak hanya sebelum dan sesudah perang namun juga selama perang. Keamanan komunitas bisa dicapai melalui perang suku berlandaskan dengan pemahaman kolektif untuk terus membentuk dan memperbaharui sistem dalam komunitas. Penelitian ini melihat perang suku dari sudut pandang konstruktivisme yang melihat pencapaian suatu keamanan komunitas dapat dilihat sebagai hal yang baik secara pembaruan konsep. Perang suku tidak lagi menjadi ajang adu kekuatan namun juga pembelajaran untuk membandingkan apa yang dimiliki musuh dan apa yang harus diperbaiki di komunitas sendiri. Perang pada akhirnya menjadi jalan untuk menguasai aspek politik, ekonomi, dan juga sosial pada suatu wilayah dan sekaligus bentuk perlawanan dari diskriminasi.
Kata kunci: perang suku, identitas, konstruktivis