Editor: Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti
Student Working Papers(SWP) ini adalah kumpulan tulisan yang merupakan intisari dari tesis terpilih yang ditulis oleh mahasiswa Program Studi S-2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada antara tahun 2016 sampai dengan tahun 2018. Sebagai wujud dari penelitian kolaboratif, penulis kedua di setiap tulisan adalah para dosenpembimbing daripenulis pertama. SWP ini merupakan edisi khusus yang diterbitkan di tahun 2019 dan dibagi ke dalam beberapatema utama yang mewakili konsentrasi keilmuan HI. Dengan adanya edisi khusus ini, maka jumlah SWP yang diterbitkan Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM di tahun 2019 menjadi lima edisi, yakni:
Publikasi ini sangat berguna bagi para pembaca yang hendak memperkaya diri dengan wawasan, diskusi, dan perdebatan dalam dunia keilmuan HI.
Detail Terbitan
Ramzatul Widat | Siti Muti’ah Setiawati
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kepentingan Cina pada era Hu Jintao dibalik dukungannya terhadap Iran di tengah polemik program pengembangan nuklir Iran. Studi ini menggambarkan adanya perbedaan sikap yang diperlihatkan oleh Cina sebagai salah satu dari anggota P5+1 (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman) yang sejak tahun 2006 terlibat langsung dalam upaya diplomasidengan Iran mengenai masalah proyek nuklirnya. Cina seringkali berdiri pada posisi yang bersebrangan dengan para negositor Barat terkait dengan mekanisme penyelesaian masalah nuklir, di mana negara-negara Barat seringkali menggunakan pendekatan sanksi untuk menghentikan proyek nuklir Iran. Cina tetap konsisten mengusulkan untuk mengedepankan perundingan bersama sampai menemukan solusi yang dapat diterima serta menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Ide membangun “dunia yang harmonis” yang diusung oleh Presiden Hu Jintao menjadi titik balik dari sikap Cina yang memiliki kecenderungan untuk mengutamakan pendekatan dengan cara-cara damai. Lebih dari itu, besarnya keuntungan strategis yang diperoleh Cina dari kerja sama dengan Iran terutama di sektor energi,mengharuskan Cina untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Iran dengan tujuan utama untuk mencapai keamanan energi.
Kata kunci: Kepentingan Cina, dukungan Cina terhadap Iran, dunia yang harmonis, kerja sama Cina-Iran, keamanan energi
Renny C. Puspitarini | Poppy S. Winanti
Persoalan pemanasan global dan perubahan iklim menumbuhkan kepentingan yang sama di antara negara – negara di dunia. Keseriusan ini tertuang dalam kesuksesan penyelenggaraan UN Climate Summit pada 23 September 2014 lalu. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Barrack Obama menyeru agar komitmen itu dilakukan serentak di seluruh dunia. Persoalannya, promosi energi alternatif yang ramah lingkungan sebagai salah satu usaha menekan pemanasan global kini tengah menghadapi tekanan. Menggunakan data yang diperoleh melalui riset kualitatif, tulisan ini menawarkan sudut pandang baru untuk memahami adanya politik inkonsistensi Amerika Serikat. Tulisan ini mengkaji hambatan tarif perdagangan yang dikenakan Amerika Serikat pada produk panel surya impor China sejak 2012 – 2014 guna membangun kerangka penjelasan yang relevan terkait inkonsistensi. Inkonsistensi yang dimaksud yakni hambatan tarif bertentangan dengan komitmen AS untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Penelitian disimpulkan dengan temuan bahwa struktur panel surya domestik yang bipolar serta kultur struktur politik domestik AS yang kental menjadi strategi inkonsistensi AS guna mengalihkan isu ke ranah domestik. Akibatnya, semangat AS menekan pemanasan global dan perubahan iklim dipertanyakan. Amerika Serikat sebagai negara yang selalu terdepan dalam menekan pemanasan global justru tidak konsisten ketika dihadapkan pada ranah domestik.
Kata kunci: Amerika Serikat, China, hambatan tarif, panel surya, politik inkonsistensi, pemansan global, perubahan iklim, inkonsistensi strategis
Valentia Nadya Dasadwiastaning | Nur Rachmat Yuliantoro
Asia Tenggara adalah kawasan yang memiliki konflik dan ketegangan politik keamanan sanggat tinggi, sehingga dapat menimbulkan perang terbuka antarnegara. Sebagian besar konflik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan konflik teritorial. Konflik ini sukar diselesaikan karena menyangkut kedaulatan suatu negara. Karakter hubungan internasional yang konfliktual di kawasan ini memunculkan isu keamanan tradisional yang harus diperhatikan. Anomali cukup unik terjadi di kawasan Asia Tenggara yang memiliki beragam konflik perbatasan dan ketegangan politik keamanan yang tinggi, namun tidak pernah berdampak pada perang antarnegara kawasan. Hasil temuan dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa anomali keamanan tersebut dikarenakan adanya keterlibatan partisipasi politik negara eksternal terhadap kawasan Asia Tenggara (sistem intrusif). Negara-negara yang menjalankan sistem intrusif tersebut adalah Amerika Serikat, Cina, dan Australia. Keterlibatan ketiga negara ini dilakukan melalui pengaturan multilateral, bilateral, intervensi militer, dan investasi ekonomi dan perdagangan. Pengaturan-pengaturan tersebut memberikan dampak yang signifikan pada level kekuatan, kohesi, dan struktur hubungan. Sehingga menimbulkan keseimbangan kekuatan dan deterence di kawasan. Pada akhirnya memberikan dampak positif (stabilitas).
Kata kunci: Asia Tenggara, konflik, sistem intrusif, keseimbangan kekuatan, keamanan
Bima J.Nanda | Nanang P. Mugasejati
Penelitian ini menelaah strategi Rusia dalam merespon ancaman dari NATO. Penelitian ini menggunakan konsep adverse threat transtition untuk menganalisa strategi Rusia dalam merespon ancaman dari NATO. Penelitian ini menggunakan metodelogi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis sebagai alat analisisnya dengan menggunakan data sekunder. Temuan penelitian menunjukkan Rusia yang menggunakan strategi superiority kekuatan persenjataan nuklir, dan strategi balance of power equilibrium dalam menghadapi ancaman NATO.
Kata kunci: Sekuritisasi, Pemerintah, Masyarakat Sipil
Syahrul | Nanang P. Mugasejati
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penyerangan Rusia ke Ukraina sebagai instrumen balance of power terhadap NATO. Sejatinya sengketa antara Rusia dan Ukraina berawal setelah Viktor Yanukovych menolak kesepakatan dagang dengan Uni Eropa sehingga melahirkan aksi gerakan protes dari masyarakat Ukraina. Setelah Yanukovych menolak kesepakatan dagang dengan Uni Eropa secara tiba-tiba Ukraina memutuskan untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Rusia. Kesepakatan kerjasama yang dikenal Joint Action Plan antara Rusia dan Ukraina melahirkan dinamika politik terhadap domestik Kiev. Masalah muncul atas ketidak-konsistenan Yanukovych dalam menerapkan undang-undang non blok sehingga keputusan untuk menjalin hubungan dengan Rusia telah meruntuhkan konsep non blok yang selama ini dibangun sebagai bentuk pertahanan diri. Munculnya berbagai protes dalam internal Ukraina telah menggugurkan hubungan kerjasama dengan Rusia dan bahkan menyeret Viktor Yanukovych turun dari jabatannya. Hal tersebut membuat konflik Ukraina Timur semakin mewarnai studi hubungan internasional di mana arah kebijakan luar negeri Ukraina mampu menyeret dua blok besar dalam ketegangan. Keterlibatan Rusia dalam konflik Ukraina merupakan imbas dari gerakan protes Krimea yang menginginkan keluar dari bayangan Ukraina dan bergabung dengan Rusia. Hal tersebut, membuat Rusia semakin yakin untuk menjadikan Krimea sebagai sanksi terhadap tindakan Ukraina memilih bergabung dengan barat. Apalagi Rusia memiliki banyak kepentingan di Krimea khususnya dalam pembangunan militer. Selain itu, fungsi Laut Hitam terhadap Rusia digunakan untuk mengontrol aktifitas pasukan NATO di Eropa Timur serta untuk mengntrol jalur pipa gas menuju Uni Eropa. Hal tersebut menjadikan Laut Hitam sebagai tempat yang diperebutkan dan dianggap sebagai daerah yang mampu memberikan kekuatan terhadap pasukan Rusia. Sehingga perjuangan Rusia dalam mempertahankan Krimea telah mampu menciptakan perubahan balance of power di kawasan Timur.
Kata kunci: power, balance of power, keamanan kepentingan nasional, dan politik luar negeri
Zulfikar B.Poernomo | Nanang P. Mugasejat
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan upaya politik luar negeri yang Cina terapkan dalam menjamin keamanan energinya. Penelitian ini mengkombinasikan beberapa konsep keamanan energi, antara lain adalah: konsep keamanan energi Xu Yi-Chong sebagai benang merah dalam menilik aspek domestik (berkaitan dengan permintaan) dan aspek internasional (berkaitan dengan suplai), serta 1. ketersediaan energi (konsep yang ditawarkan oleh Michael T. Klare dan Bernard D. Cole), 2. hambatan-hambatan suplai energi (Bernard D. Cole dan Asia Pacific Energy Research Centre), 3. kemampuan militer dalam upaya pengamanan suplai energi (Bernard D. Cole), 4. upaya peningkatan keamanan energi (International Energy Agency), dan 5. multi-track diplomacy (Louise Diamond dan John McDonald) sebagai konsep pendukung. Secara metodologi, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan cara mengolah data primer dan sekunder untuk menganalisis profil sektor energi Cina, variabel ancamanterhadap keamanan energi Cina, dan upaya Cina dalam merespon ancaman tersebut. Hasilpenelitian ini menunjukan bahwa terdapat dua variabel yang menjadi ancaman bagi keamanan energi Cina: variabel internal yang terdiri dari konsumsi energi dan ketersediaan sumber daya energi domestik, serta variabel eksternal yang terdiri dari cadangan energi dunia, keamananjalur komunikasi laut, konflik geopolitik, dan instabilitas politik negara penyuplai energi Cina. Variabel ancaman tersebut kemudian Cina respon dengan upaya yang diterapkan di ranah domestik: pengoptimalan konsumsi domestik, pembangunan kilang reservasi strategis nasional, dan pengembangan sumber daya energi terbarukan, serta upaya yang diterapkan diranah internasional sebagai bentuk politik luar negeri Cina atas keamanan energinya: diversifikasi suplai, pemanfaatkan kekuatan militer, dan diplomasi energi.
Kata kunci: keamanan energi, politik luar negeri, Cina
Pedro C. da Silva | Nur Rachmat Yuliantoro
Krisis politik di Dili, Timor-Leste, pada tahun 2006 telah mendorong terjadinya konflik kekerasan bernuansa etnis Loro-monu dan Lorosa’e dengan korban yang sangat besar. Pergantian kepemimpinan yang terjadi gagal mengendalikaan konflik, sampai kemudian Perdana Menteri Xanana Gusmão menjalankan strategi pemulihan nasional hamutuk hari’i futuru yang berhasil menyelesaikan konflik etnis tersebut.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab keberhasilan resolusi konflik hamutuk hari’i futuru yang dilakukan Gusmão. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori resolusi konflik dari Louis Kriesberg, ditambah dengan konsep fragile state dan konflik etnis. Hasil penelitian menemukan bahwa keberhasilan hamutuk hari’i futuru terbukti dari tidak adanya lagi bentuk-bentuk kekerasan etnis, proses re-integrasi seluruh pengungsi, terdapatnya berbagai aktivitas pemecahan masalah bersama secara damai, serta masyarakat Loro-monu dan Lorosa’e saling berinteraksi dalam jalinan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan sebagai wujud perdamaian. Keberhasilan ini karena hamutuk hari’i futuru diterapkan berdasarkan pendekatan resolusi konflik yang terdiri atas empat tahap, yaitu de-eskalasi konflik, intervensi kemanusiaan dan negosiasi, pemecahan masalah, serta pembangunan perdamaian.
Kata kunci: Timor-Leste, konflik etnis, resolusi konflik
Hermenegildo Xavier | Maharani Hapsari
Penelitian ini mengambil judul tentang Upaya Timor Leste untuk bergabung dalam ASEAN. Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apa Upaya Diplomasi yang ditempuh Timor Leste untuk Bergabung dalam ASEAN. Teori yang dipakai untuk menjawab pertanyaan adalah konsep Diplomasi Timor Leste yang artinya “halo amigu ba ema hotu no la halo inimigu ba ema idaâ” atau artinya “membuat persahabatan dengan semua orang dan tidak memusuhi siapapun”, dan Konsep Multi Track Diplomacy sebagai pilihan Rasional yang dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang upaya diplomasi apa yang dilakukan Timor-Leste untuk masuk ASEAN. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Timor Leste merupakan negara baru dan letak geografisnya berada di kawasan asia tenggara dapat menjadi peluang bagi Timor Leste dalam bidang politik keamanan (untuk meningkatkan nilai demokrasi dan hak asasi manusia), ekonomi (ekspor dan inpor) dan sosial-budaya (capacity building). Diplomasi yang dilakukan Timor Leste adalah dengan penerapan metode negosiasi, persuasif dengan saluran komunikasi hubungan bilateral maupun pada forum-forum regional. Dalam memperjuangkan keinginan Timor Leste untuk menjadi negara anggota ASEAN Timor Leste juga menggunakan Multi Track Diplomacy yang melibatkan semua lembaga non pemerintah, akademik, pendanaan dan Media sebagai imputan dari lembaga-lembaga tersebut demi terintegrasi Timor Leste dalam ASEAN.
Kata kunci: Diplomasi Timor Leste, Multi-Track Diplomacy dan ASEAN; Diplomacy Timor Leste, Multi-Track Diplomacy and ASEAN
Indra J. Wiranata | Dafri Agussalim
Konflik Laut Tiongkok Selatan sudah terjadi sejak tahun 1970an dan melibatkan enam negara, yaitu Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darusalam. Konflik ini menyangkut kedaulatan territorial sehingga menjadi kompleks dan sulit untuk diselesaikan. Disamping melibatkan kedaulatan, yang menjadi alasan bertahannya konflik ini karena Laut Tiongkok Selatan merupakan perairan dengan posisi dan kekayaan alamnya yang akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi negara mana saja yang memiliki kontrol penuh. Untuk mempertahankan klaimnya, Tiongkok melakukan diplomasi yang bersifat asertif dengan mempertegas status klaim pada forum-forum internasional, selain pada aktivitas klaim di wilayah sengketa. Dengan metode penelitian yang bersifat kualitatif, penelitian ini akan menganalisis apa yang mendorong negara tersebut melakukan diplomasi yang cenderung asertif tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan konsep diplomasi dan asertifitas, terdapat dua faktor yang mendorong Tiongkok berdiplomasi secara asertif, yaitu faktor ekonomis yang lahir dari kondisi ketergantungan impor energi dan faktor tingginya kepercayaan diri yang lahir dari kapabilitas ekonomi dan militer yang kuat.
Kata kunci: Laut Tiongkok Selatan, Konflik Laut Tiongkok Selatan, Diplomasi, Asertifitas, Tiongkok
Riskey Oktavian | Maharani Hapsari
Studi ini bertujuan mengetahui efektivitas rezimCommon Foreign and Security Policy (CFSP) dalam menangani isu pembajakan kapal Teluk Aden-Somalia yang menjadi krisis besar menjelang akhir tahun 2008. Ia mengeluarkan produk European Union Comprehensive Approach to Somali Piracy (EU-CASP) mengatur perilaku 27 negara anggota Uni Eropa melaksanakan program-program EUNAVFOR-Atalanta, penegakan hukum, EUTM-Somalia, dan EUCAP-Nestor. Berlandaskan teori efektivitas rezim Arild Underdal ditambah konsep maritime piracy dan rezim internasional ditemukan bahwa rezim CFSP tidak efektif seiring ketidakpatuhan rendah dan tinggi anggotanya terhadap aturan main rezim, sehingga operasionalisasi rezim dalam misi tidak optimal, dan berdampak kegagalan rezim mencapai sasaran yang ditetapkan hingga saat ini.
Inefektivitas terjadi karena kombinasi tiga faktor negatif: (1) rezim menghadapi masalah sangat sulit, isu pembajakan kapal kompleks dan berakar luas, perbedaan anggapan dan ketidakselarasan kepentingan anggota memandang ancaman langsung membawa kepentingan material, dan ancaman tidak langsung mengagendakan kepentingan non-material berjangka panjang, adanya perpecahan kapasitas, persepsi, kalkulasi, dan kewenangan mutlak aktor eksternal menghambat mereka mengkordinasikan berperilaku patuh terhadap aturan main rezim; (2) kemampuan penyelesaian masalah rezim lemah, tidak ada lembaga pengawasan dan sanksi membuat ketidakadilan distribusi kekuasaan anggota dominan dan non-dominan yang tidak mampu mengontrol perilaku satu sama lain, ditambah kepemimpinan direksional ekspresif, dan komunitas epistemik yang kalah melawan proses politik; (3) level kolaborasi tanpa koordinasi dan integrasi berbasis saling mengejar kepentingan individu, sambil mengabaikan kebaikan bersama.
Kata kunci: pembajakan kapal Teluk Aden-Somalia, CFSP, EU-CASP, efektivitas rezim
Muhammad C.Pratama | Poppy S. Winanti
Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan alasan Rusia menggunakan strategi berupa larangan impor produk agrikultur untuk merespon sanksi dari Uni Eropa (UE) tentang keterlibatan Rusia pada konflik Crimea. Penelitian ini kemudian melihat bahwa alasan Rusia menggunakan strategi tersebut adalah karena Rusia telah mengukur tingkat vulnerability UE dengan melakukan analisa terhadap konsentrasi ekonomi, komoditas, dan trade-partners yang dimiliki oleh UE. Adanya tingkat ketergantungan UE yang tinggi terhadap sektor agrikulturnya dan Rusia yang sadar akan posisinya sebagai salah satu partner perdagangan terbesar disektor agrikultur yang dimiliki UE membuat Rusia merumuskan sebuah countersanction yang secara khusus menyerang sektor ini dengan harapan dapat menciptakan sebuah countersanction yang efektif bagi UE.
Kata kunci: Rusia, Uni Eropa (UE), Sanksi dari Uni Eropa, Konflik Crimea, Countersanction, Vulnerability, konsentrasi ekonomi, konsentrasi komoditas, konsentrasi trade partners, Agrikultur
BB Fisipol Building, 5th Floor
Jl. Sosio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia