Editor: Dr. Luqman-nul Hakim | Fanya Tarissa Anindita Wirawan
Mempelajari HI melalui Politik Perlawanan
Terdapat banyak cara dalam mempelajari studi Hubungan Internasional (HI). Setiap pendekatan dominan menawarkan fokus dan model analisis yang berbeda–beda. Bagi pendekatan realisme struktural, misalnya, cara mempelajari Hubungan Internasional (HI) adalah dengan memahami bagaimana great power bersaing dan menciptakan struktur global yang memaksa negara–negara lain untuk mengubah strategi, aliansi, dan perilakunya. Bagi kaum liberal, cara memahami HI adalah dengan menunjukkan bagaimana bekerja atau tidak bekerjanya rezim–rezim internasional atau global governance. Kelas Gerakan Sosial Global di DIHI UGM menggunakan cara pandang khas: bagaimana memahami HI melalui politik perlawanan? Pada umumnya, politik perlawanan atau gerakan dibaca semata–mata sebagai konsekuensi atas suatu transformasi sosial. Ia bahkan kerap dipandang sebagai gangguan atau disrupsi bagi tata dunia yang hegemonik. Dalam kelas ini, politik perlawanan dibaca sebagai pintu masuk sentral untuk memahami bagaimana tata dunia terbentuk dan berubah. Dengan Cara pandang ini, hubungan antara politik perlawanan dan tatanan politik nasional atau global bersifat konstitutif dan produktif...
Detail Terbitan
Ribuan anggota serikat pekerja, kelompok mahasiswa, dan Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador(CONAIE) melakukan demonstrasi di Quito untuk menentang kebijakan pengetatan anggaran yang diusulkan Presiden Ekuador, Lenín Moreno. Kebijakan tersebutmemang akan menstimulasi ekonomi nasional, terutama dengan pinjaman International Monetary Fund (IMF), tetapi iaakan menghapus subsidi bahan bakar yang nantinya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara luas. Tulisan ini mengkaji bagaimana kebijakan pengetatan anggaran memunculkan konteks struktural bagi perlawanan sosial di Ekuador.Menggunakan pendekatan perilaku kolektif dan empat dimensi kesempatan politik, tulisan ini melihat protes Ekuador 2019 sebagai implikasi dari kekecewaan kolektif sekaligus instrumen untuk meningkatkan daya tawar masyarakat dalam kebijakan pemerintah untukmengatasi krisis ekonomi.
Kata kunci: perilaku kolektif, kesempatan politik, penghematan, Ekuador
Gerakan protes Papua yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia pada tahun 2019menandai salah satu mobilisasi gerakan terbesar dalam riwayat konflik Papua. Kendati demikian, tulisan ini berargumen bahwa gerakan protes Papua pada tahun 2019 tidak cukup efektif dalam mengeskalasi resistensi sipil Papua—dalam konteks politik rekognisinya vis-à-visPemerintah Indonesia—karena dua alasan utama. Pertama, penggunaanbingkai identitas oleh gerakan yang berdampak kontradiktif dengan menajamkan polarisasi “kita” dan “mereka” di antara masyarakat Papua dan Indonesia. Isu rasisme relatif tidak efektif untuk sebagai basis solidaritas dalam gerakan ini.Kedua, pemerintah Indonesia dan aparatusnya melakukan counter-framing dengan memojokkan pihak yang memobilisasi gerakan Papua melalui wacana nasionalisme sempit dan menjadikan alasan untuk merepresi gerakan, tanpa mengatasiakar-akar konflik di Papua.
Kata kunci:Identitas, protes, rasisme, kontradiksi kultural.
Masako Septianingrum Ompusunggu
Gerakan feminisme di Korea Selatan terus mengalami dinamika.Patriarki dan misogini dalam budaya sosial Korea Selatan merupakan tantangan besar bagi agenda feminis di negeri ini. Post-ItProtestyang muncul setelah tragedi pembunuhan acak terhadap seorang perempuan di Stasiun Gangnam kembali menyoroti isu rentannya identitas gender terhadap kekerasan di negara tersebut. Protes inimerupakan peristiwa monumental yang mengangkat kembali isu kekerasan terhadap gender melalui konstruksi identitas yang menarik. Tulisan ini menunjukkan bahwa agenda yang diangkat oleh protes tersebutmampu menarik perhatian sebagian masyarakat, bahkan membawa pembaharuan dalam gerakanfeminisme di Korea Selatanyang semakin progresif.
Kata kunci: Post-It Protest, feminisme, identitas, aksi kolektif
Akhir tahun 2010 ditandai dengan gerakan sosial yang menggebrak dunia, yaitu rangkaian peristiwa Arab Spring yang dimulaidi Tunisia pada 2010. Tingginya angka pengangguran, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan badai resesi ekonomi mendorong kelompok-kelompok intelektual muda untuk menginisiasi gelombang demonstrasi di Timur Tengah dengan tuntutan yang cenderung sama, yakni reformasi demokrasi. Tulisan ini mengkaji bagaimana Arab Spring membuka cakrawala model pengorganisasian baru sebagai sebuah gerakan sosial yang mumpuni. Menggunakan pendekatan perilaku kolektif (collective behavior), tulisan ini membedah struktur opresi dan bentuk resistensi Arab Spring yang mempunyai karakteristik cair, yaitu tanpa pemimpin tertentu, tetapi memiliki intensi dan arah politik yang dapat dipetakan dengan jelas.
Kata kunci: gerakan sosial, collective behavior, tanpa pemimpin, Timur Tengah, demokrasi
Pada 15 Mei 2011, ribuan rakyat Spanyol menyuarakan kemarahan mereka melalui gerakan Indignados terhadap kebijakan penghematan yang ditetapkan pemerintah. Meski kerap disebut sebagai gerakan spontan, tulisan ini berargumen bahwa gerakan Indignados muncul sebagai akibat dari kontradiksi sistem neoliberal yang telah diimplementasikan sejak lama di Spanyol. Dengan menggunakan pendekatan struktural, tulisan ini berargumen bahwa perubahan struktur ekonomi dan reformasi kebijakan sosial yang didorong oleh Uni Eropa sertadinamika politik nasional Spanyol menyebabkan kondisi pekerja semakin rentan. Gerakan Indignadosterbentuk sebagai gerakan populis sayap kiri yang menyuarakan tuntutan ‘rakyat’ terhadap ‘elit’ untuk revitalisasi demokrasi dan mencari alternatif dari neoliberalisme.
Kata kunci: Indignados, Spanyol, neoliberal, gerakan populis
BB Fisipol Building, 5th Floor
Jl. Sosio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia