“Budaya Pop Milik Siapa?” Inilah pertanyaan inti yang menjadi sorotan utama dalam gelar wicara pembuka konferensi internasional Popular Culture and World Politics v15 (PCWPv15) pada Selasa (19/11) di Selasar Barat Fisipol UGM. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Prodi Magister Ilmu Hubungan Internasional UGM ini mengundang Alia Swastika (Jogja Biennale Foundation), Budi Irawanto (Jogja-NETPAC Asian Film Festival [JAFF]), dan Okky Madasari (ASEAN Literary Festival). Sebanyak 50 peserta turut hadir mengikuti diskusi yang dipandu oleh diah kusumaningrum (Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM).
diah memandu diskusi dengan dua pertanyaan utama untuk menggali motivasi narasumber ketika memutuskan mengedepankan perspektif nonarus utama dan apa saja tantangan yang selama ini mereka alami.
Okky Madasari menceritakan kegelisahannya terhadap masyarakat Asia Tenggara yang tidak terkoneksi dan terbelenggu oleh stereotipe di antara satu sama lain. Ketiadaan sense of belonging ini, menurut Okky, disebabkan oleh dinding pemisah berupa keberagaman bahasa. Mayoritas literatur hanya tersedia dalam bahasa lokal dan belum ada upaya serius untuk saling menerjemahkan karya. Di sisi lain, Inilah yang membuat Okky berupaya aktif mempererat koneksi di tingkat akar-rumput, salah satunya melalui ASEAN Literary Festival. Selain faktor bahasa, Okky menilai tantangan terbesar adalah banyak isu atau topik yang dinilai tabu oleh masyarakat ASEAN sehingga mendorong terjadinya pelarangan buku, kegiatan diskusi, atau festival budaya.
Budi kemudian memperdalam bahasan tentang poin terakhir Okky, yakni mengenai penyensoran (censorship). Selama ini, JAFF berupaya mendorong pendefinisian ulang atas inklusivitas di Asia Tenggara dengan mengenalkan tidak hanya film-film nonarus utama, tetapi juga film yang memuat narasi yang selama ini dianggap tabu. Ia mencontohkan film Lelaki Komunis Terakhir (Malaysia, 2012) yang dilarang karena dianggap mempromosikan ideologi komunis dan film To Singapore With Love (Singapura, 2013) yang dilarang karena mengkritik perlakuan pemerintah kepada tahanan politik. Di Indonesia pun hal serupa masih terjadi, meskipun makin banyak film yang mulai berani mengangkat tema yang kritis dan sensitif. Menurut Budi, penyensoran semacam ini membatasi hadirnya ruang diskusi yang lebih inklusif melalui film.
Sementara itu, Alia mengajak peserta untuk berpikir kritis dalam memaknai kata “internasional”. Alasan ini juga yang dahulu menggerakkan Alia untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat global dan berkolaborasi dengan komunitas-komunitas dari negara Selatan. Menurut Alia, definisi atas produk budaya dan siapa aktor yang layak dinilai bertaraf “internasional” selama ini cenderung bias pada perspektif atau standar Barat, terutama Eropa (eurocentrism). Oleh karena itu, ia berupaya melibatkan komunitas lokal, terutama yang berasal dari negara Selatan, seperti India, Brazil, serta negara-negara di kawasan Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Oseania dalam penyelenggaraan Biennale Jogja. Banyak kegiatan Biennale yang kemudian diselenggarakan di desa-desa dan sentra komunitas untuk memperdalam koneksi di antara komunitas.
Konferensi PCWPv15 akan berlangsung selama empat hari (19–22 November 2024). Selain gelar wicara, terdapat berbagai sesi lainnya, seperti 9 panel diskusi, 2 sesi roundtable discussion, sesi mentoring, tur Kota Yogyakarta, Beatles Night, dan pameran hasil karya mahasiswa kelas Sciences, Technology, and Arts in International Relations (STAIRS).
Daftar panel dan judul makalah tersedia di halaman ini.
======
Penulis: Salsabilla Azzahra Octavia, Aisya Todoroki
Editor: Nurhawira Gigih Pramono