Setelah beberapa waktu mengalami penundaan karena adanya COVID-19, akhirnya Diskusi Bulanan DIHI kembali diadakan pada hari Senin (15/6). Berbeda dengan sebelumnya, diskusi kali ini dilaksanakan secara daring. DIHI mengundang satu pembicara yang berasal dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia dan dua dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM untuk bercerita mengenai situasi yang dialami Cina saat ini.
Kegiatan ini dipandu oleh Dr. Randy Wirasta Nandyatama dan dihadiri oleh ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, yang juga merupakan salah satu pengamat Cina.
Diskusi ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Cina saat ini telah menjadi kekuatan baru yang mempunyai potensi untuk menggeser dominasi Barat dalam tatanan dunia internasional. Namun di sisi lain, banyak pengamat berpendapat bahwa Cina dibangun dari fondasi yang kurang demokratis sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa dominasi Cina ini cukup rapuh. Ditambah dengan isu-isu yang terjadi akhir-akhir ini membuat posisi Cina semakin sulit.
Dengan tajuk “Cina: Mengarungi ‘Badai’ di Tiga Front”, ketiga pembicara memaparkan analisis mereka terhadap masing-masing satu permasalahan yang dihadapi Cina saat ini. Pembicara pertama adalah Dr. Yeremia Lalisang dari Departemen Ilmu HI UI. Dalam diskusi ini beliau memberikan pemaparan mengenai kebijakan luar negeri Cina terhadap relasi Cina dan Amerika Serikat saat ini. Pembicara kedua adalah Treviliana Eka Putri, M.Int.Sec yang membahas mengenai persoalan yang berasal dari dalam negeri Cina, yaitu Hong Kong Protests. Pembicara ketiga, Yunizar Adiputera, MA memberikan penjelasan mengenai peningkatan ketegangan antara India dan Cina di wilayah perbatasan.
Medan pertarungan pertama dimulai dari relasi Cina dengan Amerika Serikat yang meruncing di era kepemimpinan Xi Jinping dan Donald Trump, dan semakin diperparah oleh pandemi COVID-19. Untuk melihat relasi ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan kebijakan luar negeri Cina. Dr. Yeremia Lalisang yang merupakan pengamat Kebijakan Luar Negeri Cina dalam diskusi ini mengutarakan bahwa meskipun Cina adalah sebuah negara yang terpusat dibawah kontrol Partai Komunis Cina (PKC), namun dalam hal pembuatan kebijakan luar negeri banyak aktor-aktor di bawahnya yang turut memberikan andil. Hal ini menjadikan proses pembuatan kebijakan luar negeri Cina sangat kompleks dan sulit untuk mengidentifikasi aktor utamanya karena masing-masing isu memiliki aktor dominan yang berbeda. Terkait dengan isu kebangkitan Cina sebagai rising power, Yeremia memaparkan bahwa kebangkitan ini merupakan dampak dari peningkatan kapabilitas Cina dalam banyak sektor. Respon kekuatan-kekuatan lain dunia terhadap kebangkitan Cina sangat mempengaruhi relasi mereka terhadap Cina dan menentukan apakah kebangkitan Cina akan berakhir peaceful atau unpeaceful. Hal inilah yang digunakan untuk melihat relasi hubungan antara Cina dan Amerika Serikat yang semakin memanas, yang juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosok Donald Trump yang memimpin Amerika Serikat saat ini. Relasi Cina dengan Amerika Serikat akan selalu menjadi wadah pertarungan yang konstan antara kekuatan-kekuatan politik yang berkepentingan.
Tantangan kedua, Cina harus bergulat dengan kondisi dalam negerinya sendiri, yaitu kembalinya protes anti-pemerintah di Hong Kong. Treviliana mengatakan bahwa bulan Juni ini merupakan peringatan satu tahun sejak demonstrasi Hong Kong dimulai. Adanya pandemi tidak menyurutkan demonstrasi di Hong Kong. Pemerintah Cina menemui tantangan baru karena demonstrasi di Hong Kong memanfaatkan teknologi era digital sebagai alat utama untuk mengumpulkan massa dan mengumpulkan dukungan untuk pihak pro-demokrasi Hong Kong. Untuk menanggulangi hal tersebut, Pemerintah Cina berusaha untuk membendung protes dengan pemanfaatan teknologi informasi seperti pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan disinformasi dan pengawasan warga negara dengan memanfaatkan data-data pribadi mereka. Langkah pemerintah Cina tersebut dikecam oleh banyak pihak karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Peristiwa yang terjadi di Hong Kong mencerminkan bahwa Cina masih jauh dari kata negara demokratis.
Di front ketiga, Cina harus berhadapan dengan India. Yunizar mengungkapkan bahwa sejak bulan Mei 2020 terlihat adanya peningkatan ketegangan antara militer Cina dan India di wilayah perbatasan. Dari perspektif keamanan internasional, konfrontasi yang dilakukan Cina di wilayah perbatasan merupakan upaya signaling kepada pemerintah India yang mulai agresif untuk membangun berbagai infrastruktur di wilayah perbatasan. Baik India dan Cina memiliki perspektif yang berbeda terhadap garis batas mereka, sehingga adanya peningkatan aktivitas militer India di wilayah perbatasan akan menimbulkan dilema keamanan bagi Cina. Upaya signaling dilakukan Cina untuk memberikan pesan kepada pihak lawan menyadari eksistensi mereka di wilayah yang sama, dan mulai mempertimbangkan untuk menarik kekuatan mereka dari perbatasan.
Konfrontasi antara India dan Cina diprediksi tidak akan menyebabkan perang terbuka, mengingat kedua negara tidak memiliki kepentingan untuk berperang satu sama lain. Baik India maupun Cina lebih ingin mempertahankan status quo. Bagi Cina sendiri, konfrontasi ini akan menguntungkan pihak Cina untuk kembali menyatukan publik yang sempat kecewa dengan kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi. Namun Yunizar juga mengatakan bahwa konfrontasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik yang lebih besar jika dipengaruhi oleh faktor geopolitis dan kondisi politik di Asia Selatan.
Pemaparan dari Yunizar merupakan pemaparan terakhir dalam diskusi kali ini, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa peserta secara antusias untuk mengajukan pertanyaan. Setelah sesi tanya jawab selesai, diskusi ditutup oleh Dr. Randy Wirasta Nandyatama dan memberikan pesan bagi peserta untuk bergabung dalam diskusi selanjutnya.
Penulis : Arlitadian Pratama
: Melisa Rachmania