Kebijakan kontroversial Presiden Trump kembali menantang pemerhati internasional dalam memahami politik global yang semakin dinamis dan tidak terprediksi
Peningkatan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS), yang ditujukan untuk menekan defisit perdagangan AS, direspons dengan peningkatan tarif oleh sejumlah aktor seperti Cina, Kanada, dan Uni Eropa —yang kemudian menciptakan perang dagang.
“Padahal asumsinya, entitas lain akan mengikuti kebijakan AS. Merekalah yang sesungguhnya sangat bergantung pada pasar AS,” jelas Azza Bimantara, peneliti Institute of International Studies dalam diskusi Menggelorakan Perang Dagang: Kebijakan Proteksionis Trump dalam Perspektif Nasionalisme Ekonomi (26/7).
Selama ini, AS menjadi tujuan ekspor komoditas dari Cina, Korea Selatan, Malaysia, Kanada, dan Uni Eropa. Rata-rata ekspor tiap mitra dagang AS menyumbang 15-20% bagi PNB masing-masing negara. Menyusul peningkatan tarif yang diberlakukan, Kanada dan Meksiko melakukan balasan dengan meningkatkan tarif produk dan olahan agrikultur. Uni Eropa membalas dengan meningkatkan tarif otomotif dan sejumlah produk fashion. Korea Selatan juga ikut dengan produk panel surya dan mesin cuci.
Azza menambahkan bahwa perang dagang yang terjadi telah mematahkan asumsi bahwa negara demokratis tidak akan saling berperang.
Menurut Dr. Riza Noer Arfani —Direktur Institute of International Studies sekaligus Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM— fenomena ini bisa menandai berkurangnya pengaruh AS dalam politik global. Menurut teori, negara lain akan muncul menggantikan peran AS dan dalam hal ini Cina berpotensi mengambil alih.
“Ini terlihat dari bagaimana Cina mulai memperkuat komunitas epistemiknya dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk kepentingan perdagangan dan politik internasional.”
Mengingat posisinya bukan sebagai mitra dagang strategis, perang dagang tidak akan berdampak langsung pada Indonesia.
“Akan tetapi, menimbang peran World Trade Organization (WTO) yang minim dalam dinamika ini, Indonesia harus mulai belajar untuk melalukan negosiasi bilateral dengan mitra dagang,” ujar Azza.
Mengingat visi Trump dan kecenderungan ekonomi yang proteksionis, Indonesia tidak lagi bisa bergantung pada WTO. Kemungkinan besar AS akan mencabut perlakuan khusus terhadap komoditas dari Indonesia dan pada titik inilah negosiasi bilateral dibutuhkan.
Penulis: Imas Indra Hapsari
Penyunting: Nurhawira Gigih Pramono