Bom tandan (cluster munitions) adalah suatu jenis senjata yang didesain untuk menyelimuti suatu kawasan dengan suatu kekuatan ledakan yang dihasilkan oleh ratusan bom-bom kecil. Sebuah bom tandan dapat menampung ratusan amunisi yang akan lepas ketika bom tandan dijatuhkan dari pesawat. Ledakan bom-bom kecil ini dapat menembus lapisan baja dan membunuh orang di suatu kawasan luas yang menjadi daerah penjatuhan bom tandan. Oleh karena sifatnya yang tidak bisa membedakan target (kombatan dan non-kombatan), bom tandan berbahaya bagi kemanusiaan. Pada Desember 2008, Convention on Cluster Munitions (CCM) ditandatangani. Konvensi ini secara umum mengatur tentang pelarangan penggunaan, produksi, pemindahan, dan penumpukan bom tandan. Pemerintah Indonesia telah menandatangani CCM sejak tahun 2008, tetapi hingga sekarang konvensi ini belum diratifikasi.
Perkembangan proses ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia dan aspek kemanusiaan dalam perlucutan bom tandan menjadi topik yang diangkat oleh Institute of International Studies (IIS) UGM bekerjasama dengan Cluster Munitions Coalitions (CMC) dalam seminar “Menuju Universalisasi Convention on Cluster Munitionsâ€. Seminar ini diadakan pada Jumat, 30 September 2016 di Ruang Seminar Lt. 2, Gedung Perpustakaan Pusat UGM.
Dalam seminar yang berdurasi sekitar dua jam, para pembicara menyampaikan materi sesuai dengan keahlian dan bidang kerjanya. Materi pertama dibawakan oleh Andy Rachmianto, Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri RI. Dalam pemaparannya, Andy Rachmianto menyatakan terdapat dua dasar pemikiran munculnya CCM. Pertama, senjata bom tandan berbahaya karena tidak mampu membedakan target. Alasan yang kedua, amunisi yang tidak meledak akan tertanam di tanah dan memiliki potensi meledak seperti ranjau darat. Seringkali korbannya adalah masyarakat sipil dan meledak ketika perang sudah selesai sehingga mempersulit proses rekonsiliasi pasca-konflik. Terkait dengan posisi Indonesia dalam CCM, Pemerintah Indonesia merasa perlu terlibat dalam proses negosiasi karena Indonesia masih memiliki ‘stockpile’ jenis CBU MAT-1 dan TAL-1 produksi 1971-1982. Meskipun memiliki bom tandan, namun bom tersebut tidak lagi memiliki nilai utilitas. Pemerintah Indonesia akan memulai proses ratifikasi ketika Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan TNI memperoleh amunisi pengganti bom tandan.
Materi kedua dibawakan oleh Kol. Kav. Oktaheroe Ramsi, Analis Madya Multilateral Dirjen Kerjasama Internasional, Kementerian Pertahannan RI. Kol. Kav. Oktaheroe Ramsi melihat ‘cluster bomb’ dari sudut pandang pertahanan. Di masa kontemporer, perang konvensional masih terjadi bahkan terjadi dengan menggunakan bantuan sekutunya. Hal ini menghabiskan banyak sumber daya. Oleh karena itu, senjata yang mampu menghancurkan lawan secara efektif pun dicari. Bom tandan dianggap sesuai karena menggunakan material yang sedikit, tetapi menyebabkan kerusakan yang maksimal bagi lawan maupun sasaran. Kol. Oktaheroe sepakat bahwa penggunaan bom tandan melanggar hukum humaniter internasional. Tetapi, Indonesia harus mampu mendesak negara-negara produsen ikut menandatangani dan meratifikasi CCM. Ke depannya, Kemenhan berharap pemetaan ratifikasi CCM diperhitungkan secara menyeluruh, melibatkan para stakeholder dalam pembahasan CCM, dan  perlu diperhatikan target pengembangan industri pertahanan kedepan sehingga tidak ada kebijakan ataupun regulasi sebagai hasil dan ratifikasi yang kontraproduktif.
Muhadi Sugiono, staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, menjadi pembicara selanjutnya dengan memaparkan materi pendekatan kemanusiaan dalam pelucutan senjata. Pendekatan kemanusiaan dalam perlucutan senjata menunjukkan pergeseran paradigma dalam memahami hubungan internasional yang semakin menekankan pada perlindungan individu-individu sipil. Pada masa lalu, isu perlucutan senjata dibahas melalui pendekatan strategis (contoh: berapa jumlah senjata yang bisa dimiliki masing-masing pihak). Kini, isu perlucutan senjata lebih menekankan pada efek penggunaan senjata bagi kemanusiaan, terutama korban sipil. Persoalan pelucutan senjata pun menjadi persoalan kemanusiaan. Menurut Muhadi Sugiono, “kita tidak bisa membatasi upaya-upaya perlucutan senjata dengan mengatakan bahwa ini hanya isu strategis yang menjadi concern negara dengan implikasi yang luas. Ini isu kita semua yang merupakan manusia.â€