Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi UGM Comparative Digital Policies: Memetakan Tantangan Infrastruktur Digital Indonesia pada Selasa, 21 Februari 2023 di Auditorium Lt. 4 Fisipol UGM. Kegiatan yang turut melibatkan program Master of Arts in Digital Transformation and Competitiveness (DTC) ini menyoroti tantangan transformasi digital Indonesia, khususnya pada aspek kesiapan infrastruktur, bersama para pakar dan pelaku usaha terkait.
Diskusi yang dipandu oleh Arindha Nityasari, MCyberSecAnalysis (Dosen DIHI UGM) ini mengundang lima narasumber. Dari sisi pelaku usaha, hadir Jerry Mangasas Swandi selaku Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL). Dari pihak pemerintah, hadir Ir. Heru Sutadi, M.Si. selaku anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Dr. Ferry Gunawan, S.H., M.H. yang menjabat sebagai Kepala Seksi Penyusunan dan Penyelarasan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM. Terakhir, dari sisi akademisi hadir Henry Darmawan Hutagaol, S.H., LL.M. selaku Dosen Fakultas Hukum, Universitas Indonesia dan Dr. Riza Noer Arfani, Dosen DIHI UGM.
Ada beberapa permasalahan kunci yang menjadi sorotan dari para pelaku usaha. Menurut Jerry M. Swandi, peningkatan penetrasi internet di Indonesia cukup menggembirakan. Walaupun demikian, tingkat penambahan jaringan fixed broadband masih cukup rendah. “Menurut data Kominfo, persebaran fixed broadband kita baru mencapai 150 dari total 514 wilayah kabupaten/kota, atau sekitar 30% saja,” terangnya. Di tengah kondisi ini, masih ada tumpang tindih antara peraturan pemerintah pusat daerah yang menambah beban penyelenggara telekomunikasi. Salah satunya adalah pengenaan tarif sewa dan retribusi izin di beberapa daerah.
Heru Sutadi menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di sektor digital. “Indonesia adalah negara dengan perdagangan elektronik (e-commerce) terbesar di Asia Tenggara dengan proyeksi nilai sebesar 135 miliar dollar AS pada tahun 2025,” paparnya. Maka dari itu, pemerintahan Joko Widodo saat ini memprioritaskan percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital. Hanya saja, Heru Sutadi berharap ada titik temu antara elemen-elemen pemerintah pusat dan daerah, serta sektor swasta, agar beban peningkatan layanan tidak sepenuhnya dibebankan pada konsumen.
Pada sesi selanjutnya, Ferry Gunawan menjelaskan tantangan pembangunan infrastruktur digital dari sisi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ferry menambahkan, “Terjadi kondisi over regulation Indonesia. Saat ini, ada sekitar 42.000 peraturan, mulai dari UU, PP, Perpres, Permen, hingga Perda yang banyak di antaranya saling bertentangan dan tumpang tindih.” Oleh karena itu, selama beberapa tahun terakhir pemerintah berupaya menata dan menyederhanakan peraturan, misalnya melalui UU Cipta Kerja dan upaya pembentukan sebuah badan legislasi nasional. Ferry juga mendorong agar seluruh elemen perancang kebijakan bisa mendukung strategi dan perancangan di tingkat nasional, alih-alih membuat kebijakan yang justru bertentangan.
Henry Hutagaol mengamini situasi tumpang tindih peraturan perundangan yang kini dihadapi oleh pemerintah, khususnya mengenai Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT). Belum ada penafsiran yang seragam di tingkat daerah mengenai penyelenggaraan SJUT. Hanya karena kabel dan pipa utilitas melintas di atas atau di bawah jalan, maka oleh Pemda dianggap melintasi tanah negara dan dikenakan retribusi ataupun biaya sewa. “Saran saya, pemerintah pusat harus melakukan harmonisasi peraturan, baik soal perumusan pasal maupun penafsiran peraturan. Perlu ada harmonisasi antara rumusan dan penafsiran antara UU dengan peraturan di bawahnya, terutama yang diterbitkan oleh Pemda”, tegas Henry.
Terakhir, Riza Noer Arfani menyampaikan bahwa isu transformasi digital memang sangatlah kompleks. Studi Flensburg dan Lai (2020) mengonseptualisasikan kerangka kerja digital communication system (DCS) ke dalam tiga dimensi struktur, yaitu infrastruktur, pasar, dan peran pemerintah. Kemudian, studi ini juga membuat kategori aspek-aspek material dari komunikasi digital yang perlu dikaji dalam melihat perkembangan transformasi digital, yaitu akses jaringan, backbone network yang mengoneksikan jaringan lokal, aplikasi, dan konten. “Riset soal ini belum ada di Indonesia. Saya kira ini menjadi tugas bersama di antara kita, para stakeholder, untuk mengkaji di mana posisi Indonesia melalui kacamata kerangka ini,” pungkasnya.
Penulis: Nurhawira Gigih Pramono