Membaca Ketegangan Politik AS-Tiongkok dalam Masa Pandemi

Keluarga Alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (KAHIGAMA) menyelenggarakan Expert Meeting yang berjudul ‘Political Tension between USA and China during Pandemic Covid-19’ sebagai  usaha  untuk  merespon  ketegangan  hubungan  Amerika  Serikat  dan  Tiongkok  yang semakin tinggi ditengah pandemi Covid-19.

Velix Wanggai sebagai perwakilan Pengurus KAHIGAMA memberikan sambutannya yang  menyampaikan  tujuan-tujuan  kegiatan  dan  mengapresiasi  keikutsertaan  para  pakar. Acara diskusi kemudian dipandu oleh Lori Singer dari CNBC Indonesia selaku moderator. Expert Meeting kali ini dihadiri tiga pembicara, dua penanggap, sebelas partisipan ahli, dan empat observer dari berbagai institusi.

Dari  sudut  pandang  perdagangan  internasional, Ni  Made  Ayu  Marthini,  Direktur Perundingan  Bilateral  Kementerian  Perdagangan melansir bahwa Covid-19  mempertegas ketegangan A.S-Tiongkok dalam kurun waktu belakangan  ini. Menurutnya,  terlalu  banyak ‘sore points’ sepanjang pandemi Covid-19 yang membuat AS-Tiongkok tidak berkolaborasi, termasuk dalam perdagangan. Selain aksi saling tuduh terkait asal-mula Covid-19, di bidang perdagangan, perjanjian  perdagangan  fase  satu yang telah berjalan  sejak Januari  2020  lalu kurang berhasil. Bahkan, pertemuan lanjutan yang seharusnya dilaksanakan 15 Agustus 2020 gagal terlaksana. Sepanjang pandemi ini Tiongkok juga telah mengeluarkan belasan jurnalis AS dari  negaranya,  mengesahkan  hukum  keamanan  nasional  baru  untuk  Hong  Kong  yang berujung pada pencabutan status istimewa Hong Kong oleh AS, penutupan konsulat RRT di Houston,  masalah-masalah  HAM  yang  berlanjut,  masalah Taiwan,  hingga  teknonasionalisme yang terus digaungkan Trump.

Ketegangan tersebut tentunya berdampak terhadap arus perdagangan RI. Trade excess yang dapat  berujung  ke  masalah-masalah  yang  lebih  serius  seperti  trade  remedy  dan penyelundupan kini  mendapat  perhatian khusus. Namun, tak  semua  dampaknya negatif. Ia melihat, “Indonesia memiliki opportunity untuk  meningkatkan ekspor dan menjadi  target relokasi investasi perusahaan AS yang ada di Tiongkok, maupun sebaliknya”.

Dalam  merespon potensi  tersebut, Indonesia memiliki  beberapa  strategi.  Terhadap  AS,  RI akan  memperkuat  hubungan  bilateral,  menjaga status Generalized  System  of  Preferences (GSP), dan mengaplikasikan strategi 5-7-5 terhadap sektor swasta di mana ekspor  Indonesia akan berfokus pada 5 produk utama, 7 produk potensial, dan 5 produk strategis. Sedangkan terhadap  Cina,  RI  harus  memanfaatkan  ASEAN-China  FTA,  fokus  pada  sektor  dagang khususnya buah-buahan, baja, dan alumunium; serta melanjutkan kerjasama vaksin Sinovac. Tak kalah penting, dalam menjalin hubungan dengan dua negara tersebut, “komunikasi dan kepercayaan G-2-G dan B-2-B harus terus dijaga,” demikian ditegaskan Ni Made.

Isu AS-Tiongkok dari kacamata politik dan keamanan menarik perhatian banyak kalangan. Evan  A.  Laksmana, peneliti senior Center for Strategic  and  International  Studies (CSIS) sebagai pembicara kedua percaya bahwa Covid-19 tak mengubah tatanan distribusi kekuatan dunia,  termasuk  hubungan  AS-Tiongkok  yang  terlanjur  buruk.  Meski  kemungkinan terjadinya  perang  fisik  kedua  negara tersebut  cukup  tipis, namun pengaruh ketegangannya terhadap kawasan Asia Tenggara tetap besar. Menurut Evan, kini Indonesia tak dalam posisi yang dapat  menengahi  AS-Tiongkok,  terutama  mengingat  kehadiran  Indonesia  yang  nyaris nihil  di  Washington  DC  dibandingkan  tujuh  tahun  lalu.  Dalam  situasi  demikian, Evan menyarankan bahwa Indonesia harus berhenti menjadi negara yang kebijakan luar negeri-nya auto-pilot dan  sebatas  perpanjangan  politik  domestik.  Indonesia  harus  ada  perubahan ‘playbook’ kebijakan luar negeri, seperti menaikkan anggaran Kemlu, juga memperluas ‘alat strategis’ Indonesia selain  ASEAN  dan  hubungan  bilateral. Indonesia juga  perlu  memberi perhatian yang sama terhadap Washington layaknya Indonesia terhadap Beijing saat ini.

Dalam forum ini, Prof. Dr. Imron Cotan, Dubes Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok  2010-2013,  selaku  pembicara  selanjutnya  membagikan  pengalaman  dan pandangannya akan rivalitas AS-Tiongkok dan dampaknya terhadap Kawasan Asia Pasifik. Senada  dengan  dua  pembicara  sebelumnya,  Imron  merasa  bahwa  Covid-19  adalah ‘game changer’ untuk  banyak  hal  di  dunia, kecuali untuk hubungan  AS-Tiongkok. Jika  menilik sejarah keduanya, politik domestik AS justru lebih berpengaruh. Walau begitu, berdasar pada aggravating  factors dan mitigating  factors yang  ada  saat  ini, Imron  yakin “kemungkinan terjadinya perang terbuka hampir 0%”.

Aggravating factors seperti perang dagang dan megaphone diplomacy Trump yang membuat kebijakan  sulit  ditarik  kembali  memang  seringkali  memperpanas  hubungan,  namun mitigating  factors seperti kalkulasi untung-rugi  kedua  belah  pihak cukup  untuk  menahan perang dari terjadi. Di samping ketergantungan ekonomi antar kedua negara dan disturbansi wilayah  yang  mungkin  muncul, Xi  dan  Trump  sama-sama ingin mempertahankan  kursi kekuasaannya.

Para penanggap ahli Prof. Aleksius Jemadu, Guru Besar Universitas Pelita Harapan dan Dr. Nur  Rachmat  Yuliantoro, Kepala  Departemen  Ilmu  Hubungan  Internasional  Universitas Gadjah  Mada ikut  urun  pemikiran meramaikan  diskusi.  Secara  garis  besar,  Prof.  Aleksius Jemadu  setuju  dengan  materi  dan  strategi  yang  disampaikan  para  pembicara.  Namun  yang penting saat ini adalah mengetahui langkah yang dapat dilakukan sesuai dengan political will pemerintah  pada  saat  ini yang  cenderung  terbatas.  Hal  ini  diamini  oleh  Dr.  Nur  Rachmat Yuliantoro  yang  menyitir Daniel  Novotny dalam  bukunya,  ‘Torn  between  America  and China:  Indonesia’s  Foreign  Policy  Elite  Perception’. Menurut  Rachmat, persepsi  elit  dan publik  terhadap  kebijakan  luar  negeri  dinilai tak  kalah  penting  dari  sumberdaya  material, sehingga keberadaannya harus menjadi pertimbangan.

Pertemuan  kemudian  dilanjutkan  dengan  sesi  tanya-jawab  oleh  partisipan  ahli  dari  BPPK Kemlu,  BAPPENAS,  IPAC, LIPI, dan  kalangan  akademisi  dari  Unpar,  UI,  dan  UNAIR. Pertemuan kali ini adalah yang pertama dari rangkaian Expert Meeting yang rencananya akan diselenggarakan KAHIGAMA  secara  berkala,  dimana  para  ahli  kebijakan,  akademisi, maupun  praktisi  bertemu  dan  berdiskusi  mengenai  tema yang  telah  ditentukan. Hasil-hasil dari acara akan dirumuskan dalam prosiding dan kertas kebijakan (policy paper) yang dapat memudahkan para penentu kebijakan mengambil langkah-langkah yang strategis.


Penulis : Amril Buamona, email: amril.buamona@gmail.com

Berita lainnya

Acara

Pengumuman