Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM (DIHI UGM) menyelenggarakan kegiatan Diskusi Bulanan pertama di tahun 2021 pada hari Selasa, 30 Maret lalu. Diskusi kali ini mengangkat topik “Representasi Dunia Selatan dalam Literatur Video Game” yang menghadirkan Dr. Muhammad Rum sebagai pembicara.
Ketertarikan Dr. Rum untuk meneliti video game berawal dari hobi yang dimilikinya, serta keinginannya untuk memperkaya topik penelitian karena hingga saat ini belum banyak penelitian dengan topik video game dan hubungan internasional dari Dunia Selatan. Dalam pandangan video game sebagai literatur, Dr. Rum mengutip Alistair Brown (2013) yang menyatakan baik video game maupun karya sastra sama-sama memantik efek yang sama kepada para pemain maupun pembaca walaupun proses yang terjadi ditempuh melalui jalan yang berbeda.
Sebelumnya, ada beberapa peneliti yang telah melakukan riset mengenai video game dan hubungan internasional. Beberapa di antaranya adalah Victor Asal dalam artikel jurnalnya yang bertajuk “Playing Games with International Relations” (2005) menyatakan bahwa teknologi video game memiliki kapasitas yang mampu dijadikan sebagai media simulasi hubungan internasional. Pernyataan ini sejalan dengan hasil riset peneliti lain, Nicholas De Zamaroczy dalam “Are We What We Play? Global Politics in Historical Strategy Computer Games” (2017) yang menyatakan bahwa industri game mencerminkan pandangan masyarakat mengenai konflik internasional. Dalam riset lain, Mark B. Salter (2011) mengatakan bahwa video game mampu membangun narasi reimajinasi geopolitik dan pembentukan kesadaran kawasan.
Meminjam pandangan konstruktivis dalam hubungan internasional, video game dapat digunakan sebagai instumen penyebaran ide melalui gameplay, interactivity, immersion, dan lore yang membuat pemain merasakan pengalaman untuk membuat keputusan dan melihat konsekuensinya dalam simulasi game. Namun hingga saat ini, cara menampilkan politik internasional dalam beragam genre video game masih didominasi cara pandangan dunia pertama. Sebagai contoh, dalam banyak game Real-Time Strategy (RTS), penguasaan wilayah menjadi metode penguasaan efektif atas batas-batas negara (borders). Begitu juga dalam banyak game First-Person Shooter (FPS), perspektif elit dan objek-objek strategis lebih dominan daripada strategi penguasaan teritorial (war of attrition).
Dalam tahap awal penelitian ini, Dr. Rum melihat representasi Dunia Selatan dalam literatur video game masih terbatas sebagai bagian dari strategi pemasaran yang bertujuan agar suatu game dapat diterima oleh kalangan yang lebih luas, termasuk oleh para pemain dari negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari beberapa game yang menampilkan visual karakter bernuansa Dunia Selatan, seperti karakter hero bernuansa Asia di DOTA 2 dan karakter Gatotkaca dalam Mobile Legends.
Beberapa perusahaan pembuat video game, seperti Ubisoft, mulai mengupayakan proses kreatif dan produksi video game yang lebih inklusif melalui penggunaan tagline “Designed, developed, and produced by a multicultural team of various religious faiths and beliefs.” Namun dalam praktiknya, sebagian besar operasi masih dijalankan di negara maju. Sebagai contoh, dalam proses produksi game Assasin’s Creed, Ubisoft menggandeng Gameloft sebagai mitra yang beroperasi di Asia Tenggara (Hanoi, Saigon, dan Yogyakarta). Namun 10 operasi lainnya berada di Eropa, Kanada, dan Australia.
Keterbatasan representasi Dunia Selatan dalam literatur video game sebagian besar dipengaruhi oleh infrastruktur dan penguasaan teknologi industri gaming di Dunia Selatan yang juga masih terbatas. Selain itu, Dr. Rum menilai upaya memperkenalkan game-game alternatif dari Selatan belum mencapai critical mass. Namun perubahan arah dalam area gaming bukan tidak mungkin terjadi. Beberapa negara Asia seperti Jepang bisa memastikan representasinya dalam dunia game karena Jepang memiliki kapasitas untuk mempelajari, mengadaptasi, dan mengembangkan teknologi industri game. Cina juga mulai melakukan hal yang sama, salah satunya melalui game Genshin Impact yang mulai menyisipkan visual arsitektur dan nilai-nilai Cina. Industri gaming adalah sebuah pasar yang terbuka, sehingga dengan membuka seluas-luasnya inklusivitas Dunia Selatan dan adanya dukungan dari pemerintah dalam perbaikan infrastuktur pendukung industri gaming, representasi Dunia Selatan dalam literatur video game diharapkan dapat meningkat.
____________________________
Penulis: Melisa Rachmania
Editor: Arlitadian Pratama