Pada hari Selasa, 27 April 2021, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM (DIHI UGM) menyelenggarakan kegiatan Diskusi Bulanan yang membahas‘Politik “Diplomasi Vaksin” dan Hubungan Cina-Indonesia’. Topik ini merupakan minat riset dari Dosen sekaligus Ketua DIHI UGM, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro.
Sebagai dosen yang mendalami kajian politik Cina, Dr. Rachmat tertarik untuk meneliti topik ini terutama setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima suntikan vaksin Sinovac pertama yang bertepatan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Wang Yi ke Jakarta di bulan Januari 2021. Peristiwa ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai sinyal positif dalam hubungan Cina-Indonesia yang semakin erat sejak masa awal pemerintahan Jokowi di tahun 2014.
Untuk mengamankan akses terhadap vaksin buatan Cina dan peralatan kesehatan yang dibutuhkan, pemerintah Indonesia dilaporkan telah menganggarkan dana sebesar Rp 1,104 triliun. Indonesia juga diproyeksikan akan menjadi hub produksi vaksin di Asia Tenggara.
“Diplomasi vaksin” oleh Cina dipandang sebagai cara Cina untuk mencoba mengembalikan reputasi globalnya yang sempat memburuk setelah wabah yang dimulai di Wuhan menyebar ke seluruh dunia. Untuk itu, Dr. Rachmat ingin mengkaji niat dan tujuan Cina dalam mendistribusikan vaksin ke negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hasil kajian ini akan digunakan untuk memproyeksikan hubungan Cina-Indonesia.
Sebagai argumen awal, “diplomasi vaksin” yang dilakukan Cina dipandang tidak hanya bertujuan membantu negara lain menghadapi virus Corona, tetapi juga untuk mempromosikan citra sebagai negara tetangga yang baik di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, keberhasilan “diplomasi vaksin” Cina tentunya akan sangat bergantung pada tingkat keamanan dan efikasi vaksin yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Cina. Hingga saat ini, banyak pihak masih meragukan tingkat keamanan dan efikasi dari vaksin Cina, termasuk keraguan yang datang dari sejumlah pejabat Cina sendiri. Hal ini disebabkan karena pemerintah Cina tidak merilis data hasil uji klinis secara terbuka dan hasil uji klinis di beberapa negara menunjukkan tingkat efikasi yang berbeda-beda. Terlepas dari hal ini, Cina memiliki keinginan untuk menjadi penyedia utama vaksin bagi negara-negara berkembang dan menganggap vaksin sebagai “global public good” yang harus bisa diakses oleh seluruh negara.
_____
Penulis: Melisa Rachmania
Editor: Arlitadian Pratama