Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) menyelenggarakan DIHI UGM Talks dengan tajuk Hamas-Israel 2023: Babak Baru Konflik atau Perdamaian di Timur Tengah? pada Jumat, 13 Oktober 2023 secara daring melalui Zoom untuk membahas dinamika konflik Hamas-Israel yang kian memanas. Diskusi dihadiri oleh 300 peserta dari berbagai latar belakang seperti jurnalis, sektor swasta, hingga mahasiswa.
Dr. Ririn Tri Nurhayati, dosen DIHI UGM, menjadi moderator untuk memandu jalannya diskusi yang dihadiri oleh empat pembicara yang juga merupakan dosen DIHI UGM, di antaranya Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, Dr. Siti Muti’ah Setiawati, Drs. Muhadi Sugiono, MA, dan Dr. Daniel Petz.
Pembahasan dibuka oleh Dr. Siti Muti’ah Setiawati yang menyoroti bagaimana serangan yang terjadi di Jalur Gaza berpola setiap tiga tahun dan melihat kilas balik awal mula konflik antara Hamas dan Israel terjadi. Serangan Hamas dan serangan balik dari Israel telah memakan korban yang sangat besar. Menurutnya, baik Hamas maupun Israel sama-sama telah melanggar hukum internasional. Perseteruan tidak kunjung menemukan titik terang karena kedua pihak sama-sama keras untuk mempertahankan posisinya, “Israel berharap orang Palestina keluar dari Jalur Gaza. Sebaliknya, Hamas juga mengharapkan Israel keluar dari wilayah Palestina,” ungkapnya. Penjelasan ini ditutup dengan poin bahwa saat ini adalah momentum yang tepat bagi masyarakat internasional mendorong kedua pihak untuk melakukan perundingan dan mendukung perdamaian.
Berangkat dari penjelasan tersebut, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed memaparkan konteks yang lebih besar dengan memaparkan presentasi singkat berjudul Fragmentasi Arab, Pengucilan Palestina?. Berangkat dari Abraham Accord yang berdampak pada krisis politik perebutan kekuasaan di negara-negara Arab, Prof. Mohtar mengajak partisipan DIHI Talks untuk menggunakan nalar geopolitik dalam memahami situasi yang terjadi. Pemusatan konsentrasi pemimpin negara di Timur Tengah terhadap kepentingannya masing-masing dan pergeseran fokus dari kekuatan besar, seperti Amerika Serikat dan Cina telah menyebabkan merosotnya semangat perjuangan Palestina. Dengan berkaca dari Perang Yom Kippur tahun 1973, “Apakah kejadian ini seperti yang terjadi tahun 1973 itu? Apakah kondisi yang ada waktu itu bisa dibandingkan sekarang? Dan dengan begitu mungkin kita membayangkan apa yang akan terjadi sesudah ini” tutupnya.
Menimpali diskusi yang sedang berlangsung, Drs. Muhadi Sugiono, MA memandang bahwa pola konflik yang berulang ini bukanlah suatu yang kebetulan terjadi. Dengan membedah sistem politik negara Israel, eksistensi Israel ditopang oleh konstruksi tentang keamanan dan menonjolkan aspek sekuritisasi untuk melindungi negara dari ancaman riil maupun ancaman yang dipersepsikan. Karenanya, sarana-sarana pertahanan diperkuat, seperti badan intelijen, pasukan militer, hingga senjata nuklir. Kepemimpinan Israel di bawah Netahanyu sangat keras sehingga serangan Hamas hanya memberikan justifikasi dan legitimasi bagi Israel untuk menyerang dan menggunakan sarana kekerasan. “Pola ini akan terus berulang sampai ada strategi baru dari kelompok resistensi,” ujarnya.
Dr. Daniel Petz sebagai pembicara terakhir merangkum penjelasan-penjelasan dari pemateri sebelumnya dan menggambarkan konflik yang berlangsung sebagai humanitarian catastrophe. Berdasarkan lensa conflict analysis, pemetaan atas kebutuhan dasar dari masing-masing pihak dibutuhkan untuk melakukan transformasi konflik. Di satu sisi, serangan secara tiba-tiba dapat membangkitkan kembali trauma holocaust pada masa lalu. Di sisi lain, Palestina sedang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kebijakan Two State Solution tidak efektif menyelesaikan masalah persengketaan wilayah yang berlarut-larut. Menurutnya, “Kind of this violence escalation is bringing nothing.” Oleh karena itu, sudah saatnya untuk memaksimalkan strategi nirkekerasan untuk berkontribusi terhadap penyelesaian konflik Palestina dan Israel.
Video selengkapnya dapat diakses pada pranala berikut ( https://youtu.be/qJPLuZ01lsc )