Diskusi Bulanan DIHI di bulan November 2020 menghadirkan Muhammad Irfan Ardhani, MIR sebagai pembicara. Diskusi kali ini bertemakan ‘Indonesia dan Inisiatif Internasional untuk Mengontrol Crime Related to Fisheries’ dan dilaksanakan pada hari Kamis, 5 November 2020 secara daring.
Diskusi dibuka dengan pertanyaan dari pembicara: “Apakah masih cukup relevan membicarakan IUUF saat ini? Apakah tidak outdated?” Menurut Irfan, kita tidak bisa berharap upaya Indonesia untuk mengkriminalisasikan kegiatan IUUF (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) bisa selesai dalam sekejap. Sebagai akademisi, Irfan ingin menyoroti dan memberikan semangat dengan tetap mendiskusikan IUUF karena upaya ini masih terus bergulir dan belum menemui titik akhir sebagaimana yang diinginkan oleh Indonesia.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, hampir 2/3 wilayah Indonesia merupakan perairan dan wilayah ini merupakan salah satu area penangkapan ikan paling subur di dunia. Namun, pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap di Indonesia kurang maksimal karena masifnya kegiatan IUUF. Upaya pemerintah untuk memberantas IUUF menunjukkan peningkatan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, terutama dengan gagasan Poros Maritim Dunia yang beliau gaungkan pada periode pertama kepresidenannya. Tidak hanya menenggelamkan kapal ikan yang terbukti melakukan IUUF, yang sering luput dari sorotan publik adalah Indonesia ternyata juga aktif di berbagai forum internasional ataupun regional untuk mengklasifikasikan IUUF sebagai Transnational Organized Crime (TNOC).
Hingga saat ini, upaya Indonesia untuk mengkriminalisasikan IUUF masih terhenti di tahap ke-3 dari 5 tahap pembentukan prohibition regime sebagai mekanisme untuk mengontrol crime. Mengutip dari Andreas dan Nadelman (2006), tahap ke-3 ditandai dengan pendukung prohibition regime mulai melakukan agitasi secara aktif untuk menekan dan mengkriminalisasi aktivitas transnasional oleh seluruh negara dan membentuk sebuah konvensi internasional. Indonesia bersama negara lain seperti Norwegia secara aktif mengupayakan kriminalisasi IUUF dan mendorong adanya instrumen hukum internasional yang mengaturnya. Namun upaya ini belum membuahkan hasil, salah satu contohnya adalah upaya Indonesia untuk mendeklarasikan IUUF sebagai TNOC di UN Ocean Conference tahun 2017.
Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah argumen kriminalisasi IUUF ditolak oleh sejumlah negara karena IUUF dinilai memiliki sejumlah unsur yang tidak bisa digolongkan sebagai TNOC. Negara-negara tersebut lebih menerima crime related to fisheries untuk dijadikan salah satu unsur TNOC. Selain itu, strategi yang dijalankan pemerintah Indonesia masih terbatas terutama dalam hal pemberian sanksi atau insentif. Hambatan di kawasan datang dari Cina yang memperlambat proses pembentukan Regional Cooperation Agreement to Combat Crime Related to Fisheries.
Dari dalam negeri, poros maritim dunia tampaknya tidak lagi menjadi fokus dari pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua. Ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 yang memaksa negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk lebih fokus mengatasi dampak pandemi daripada mendorong upaya kriminalisasi IUUF.
Penulis : Melisa Rachmania