Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (DIHI FISIPOL UGM) bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menggelar Forum Debriefing II Kepala Perwakilan Republik Indonesia bertajuk ‘Membangun Kerangka Kemitraan Pembangunan melalui Pengembangan Kerja Sama Bilateral, Regional dan Multilateral’ di Auditorium Mandiri FISIPOL UGM (12/3).
Kegiatan ini rutin diselenggarakan BPPK sebanyak enam kali dalam setahun untuk memfasilitasi para duta besar yang telah menyelesaikan masa kerjanya. Biasanya, Forum Debriefing diselenggarakan di Jakarta, namun kali ini DIHI FISIPOL UGM dipilih sebagai tempat terselenggaranya acara mengingat tiga dari empat narasumber yang dihadirkan merupakan alumni DIHI FISIPOL UGM. Sebagai pembahas, hadir Dr. Dafri Agussalim yang juga merupakan dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Kegiatan yang berlangsung selama empat jam ini dibuka oleh Dr. Wawan Mas’udi, Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FISIPOL UGM. Forum dimulai pukul 09.00 WIB dan dipimpin oleh moderator Drs. Eko Hartono, MPP selaku Sekretaris BPPK. Paparan pertama disampaikan oleh Dra. Yuli Mumpuni Widarso, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan United Nations World Tourism Organization (UNWTO).
Dalam kesempatan ini, Dra. Yuli Mumpuni Widarso bercerita mengenai pengalaman bekerja dan melakukan diplomasi di forum-forum internasional, terutama yang berkaitan dengan pariwisata. Salah satu negara yang bisa menjadi contoh Indonesia dalam pengembangan sektor pariwisata adalah Spanyol. Negara tersebut mampu meningkatkan jumlah wisatawan yang datang, mencapai hampir 3 kali lipat menjadi 11 juta orang meski sempat mengalami krisis. Keberhasilan ini merupakan buah dari usaha yang dilakukan oleh Walikota Madrid yang mendorong semua sektor untuk mendukung pariwisata Spanyol. Dibandingkan Indonesia yang hanya memiliki 6 situs yang dilindungi UNESCO, Spanyol memiliki 45 situs yang potensial digunakan sebagai kekuatan pariwisata.
Spanyol juga mampu mendorong pemerintah provinsi untuk melakukan inovasi pariwisata masing-masing. misalnya terdapat satu provinsi yang fokus pada sektor ekowisata dan mengembangkan pariwisata anggur dimana wisatawan bisa memetik dan membuat minuman anggur sendiri. Hal ini seharusnya dapat diterapkan di Indonesia, Namun, masih banyaknya daerah yang masih bergantung pada pemerintah pusat menyulitkan keberhasilan penerapan tersebut. Menariknya, pemerintah Spanyol bahkan menerapkan shopping tourism dimana wisatawan asing diberikan voucher sebesar 100 Euro dan banyak pihak, termasuk UMKM, turut berpartisipasi mendukung upaya ini. Selama Dra. Yuli Mumpuni Widarso menjabat, KBRI berfokus pada penerapan beberapa strategi diplomasi publik untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Spanyol terhadap Indonesia.
Drs. Suprapto Martosetomo selaku Duta Besar RI untuk Republik Afrika Selatan merangkap Kerajaan Lesotho, Kerajaan Swaziland dan Republik Botswana menekankan dalam paparannya bahwa Indonesia perlu lebih memperhatikan kemajuan Afrika Selatan karena masih banyak potensi kerjasama yang bisa diraih mengingat semakin baiknya profil ekonomi dan perdagangan dari negara tersebut. Drs. Suprapto menceritakan telah ada penandatanganan MoU perdagangan antara Afrika Selatan dan Indonesia sebagai usaha menurunkan tarif bagi produk Indonesia.
Selanjutnya, Drs. Burhanuddin yang merupakan Duta Besar RI untuk Republik Sudan merangkap Negara Eritrea menjelaskan negara Sudan kini bukanlah seperti yang dibayangkan, terjadi banyak konflik horizontal dan terorisme seperti yang banyak diberitakan. Sudan telah berkembang kembali menjadi negara yang lebih kondusif. Namun, Sudan masih kesulitan untuk kembali membangun infrastruktur negaranya karena adanya sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat terkait terorisme internasional. Negara ini juga masih mengalami kendala dalam hal hubungan luar negeri karena memiliki riwayat konflik dengan hampir semua negara tetangganya.
“Fokus utama KBRI Sudan adalah untuk memastikan bahwa semua WNI yang berada di negara Sudan terlindungi,” tutur Drs. Burhanuddin. Beliau juga menambahkan terdapat kurang lebih 2000 orang mahasiswa Indonesia dan 700 TKI yang berada di Sudan. Saat ini Sudan tengah berusaha melakukan rekonsiliasi dengan Chad dan Libya. Ethiopea, Eritrea, Arab Saudi merupakan negara-negara yang dekat dengan Sudan.
Sementara itu, di Libya, terdapat setidaknya 500 WNI, seperti dipaparkan Raudin Anwar, S.H. LL.M. selaku Duta Besar RI untuk Negara Libya. Tak seperti Sudan yang berangsur aman, kondisi dalam negeri Libya pasca revolusi belum juga kondusif karena masih adanya perang antar suku yang terjadi. Salah satu penyebabnya adalah karena Libya memiliki potensi kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang luar biasa. Penduduknya hanya 6,1 juta dan wilayahnya cukup luas. Hanya saja, jumlah penduduk ini sudah banyak berkurang akibat perang yang masih kerap terjadi. Raudin Anwar, S.H. LL.M. menambahkan hubungan RI dan Libya secara bilateral baru terjadi pada tahun 2001. Kian tahun, hubungan ini semakin menguat terutama didasari pada kerjasama sosial budaya yakni pemberian beasiswa bagi mahasiswa Indonesia dan Libya dari masing-masing negara.
Forum ini dihadiri setidaknya 250 peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa dari kampus-kampus di Yogyakarta, peneliti, serta perwakilan kantor pemerintahan. Peserta terlihat antusias dalam mengikuti jalannya forum. Dalam beberapa kali sesi tanya jawab yang dibuka, peserta aktif untuk menggali informasi dari para Duta Besar yang hadir menjadi narasumber. Pada akhir acara, Drs. Eko Hartono, MPP memberikan paparan mengenai bagaimana caranya berkarir di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
_____
Penulis: Jelita Sari Wiedoko
Editor: Novi Dwi Asrianti